anak jenius

Kisah Anak – Anak Jenius Yang Bisa Menjadikan Pembelajaran Orang Tua

Sebagai orang tua tentu kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengasuh anak dengan sebaik-baiknya, mulai dari tumbuh kembang fisiknya, jiwanya, dan spiritualnya. Kita kerap mendengar berita tentang anak-anak berbakat luar biasa, jauh lebih unggul ketimbang anak-anak “biasa”, yang kerap dijuluki sebagai anak jenius. Akibat  keluarbiasaan kemampuan anak-anak yang disebut jenius itu, kerap pula timbul kesan bahwa para orang-tua anak-anak luar biasa tentu merasa bahagia dan bangga atas keluarbiasaan anak-anak mereka yang dianggap jenius.

anak jeniusKesan  itu belum  tentu  benar, karena anak-anak  jenius akibat keluar-biasaannya  pada hakikatnya memiliki problematika  sosial  yang  sama  dengan  anak-anak  luar-biasa yang justru luar-biasa akibat  keterbelakangannya, yakni problematika sulit menyesuaikan diri dengan  kondisi dan situasi lingkungan sosial dan emosional mereka yang “biasa” itu.

Banyak anak  jenius  justru   sulit  mengikuti proses belajar  di  sekolah  “biasa”  akibat  mereka  merasa sama sekali   tidak  tertantang   bahkan  jemu  akibat  bobot mata pelajaran terlalu  rendah bagi kemampuan belajar mereka yang terlalu  tinggi.  Dari  hasil  penelitian  jangka- panjang pun,  terbukti  sebagian besar anak yang dianggap jenius teryata di masa dewasa  mereka  berprestasi  tidak terlalu  luar  biasa  seperti  misalnya  menjadi pegawai  bank, tukang reparasi lemari es, bahkan tukang taksi atau pengantar surat.

Baca Juga : Para Ayah Bunda Simak Informasi Tentang Vaksin DPT Pada Anak

Ketidak-luar-biasaan anak-anak  jenius di masa  dewasa  adalah  akibat IQ  mereka memang  mungkin tinggi,   namun EQ dan SQ (kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial) mereka  kaliber  biasa-biasa saja. Bahkan ada pula anak-anak jenius yang kemudian berkembang menuju arah yang bukan  makin maju namun  justru makin mundur dalam prestasi  sosial dan emosional mereka.

William James Sidi (1898 – 1944) adalah insan termuda yang diterima  di  Harvard University pada usia 11 tahun. Prediksi para profesor  yang menyatakan Sidi akan menjadi ilmuwan matematika paling  terkemuka di abad XX mengangkat pamor  Sidi menjadi seorang selebriti.  Namun pada usia  remaja,  Sidi mulai  terserang gangguan saraf dan terpaksa menempuh  hidup dalam keterasingan diri selama dua dasawarsa,  kemudian melaksanakan profesi sebagai juru ­tulis sebuah  kantor swasta skala kecil. Pada usia 46 Sidi meninggal dunia akibat cerebral hemorrhage.

Paul  Charles Morphy (1837­ – 1884) tampil sebagai pecatur anak­-anak jenius pertama di dunia,  di  mana pada usia 13 tahun sudah menjadi  pemain catur terbaik Amerika Serikat.  Namun setelah perjalanan keliling Eropa mengalahkan  para pecatur terkemuka Eropa, sekembali  di USA, mendadak Morphy berhenti  main  catur  sama sekali. Morphy  meninggal dunia pada  usia 47 tahun dalam kondisi tidak  memiliki uang sepeser pun setelah lama menderita gangguan  kejiwaan  delusi paranoid.

Pada usia 14 tahun, Tracy Austin merupakan petenis  ter­muda yang  tampil   di Wimbledon  dan  US Open. 2 tahun kemudian Austin  berhasil  menjuarai US Open  dan  setahun kemudian tampil sebagai ranking no 1  dunia, Namun 3 tahun kemudian, pada  usia 20 tahun, Austin terpaksa sama sekali  berhenti main tenis akibat kemampuan fisik mau pun mentalnya tidak memungkinkan dirinya berprestasi lebih lanjut.

Pada usia 15  tahun,  Bobby  Fisher (lahir 1943) menjadi grand­master catur internasional termuda, lalu menjadi Juara Dunia Catur pada tahun 1972  setelah berhasil mengalahkan Maha Pecatur Rusia, Boris Spassky.  Namun akibat letupan­-letupan emosional  tak  terkendali Kampiun eksentrik USA  ini,  popularitasnya  makin merosot apalagi setelah menyatakan dukungan atas terorisme 11 September terhadap WTC, New  York City.

Dengan melihat pengalaman anak jenius di atas, ternyata ada tiga hal yang perlu diperhatikan sebagai orang tua terhadap anaknya yaitu fisik, emosi / jiwa, spiritual. Kadang kita sebagai orang tua cenderung melihat salah satu faktor dari ketiga komponen tersebut, misalnya hanya lebih melihat prestasi akademiknya saja tanpa memperhatikan kondisi jiwanya. Tentunya realitas ini akan membuat orang tua lebih cermat dan tepat dalam mengasuh anak.

Sumber: Antologi Kelirumologi; Jaya Suprana.

>>> MAU TAU TIPS-TIPS TENTANG DUNIA INTERNET MARKETING GRATIS SELAMA 1,5 TAHUN BERNILAI PULUHAN JUTA RUPIAH?? YUK DAFTAR FREE MEMBERNYA KLIK DIBAWAH INI! <<<

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.